Pada suatu ketika, hiduplah seekor angsa yang tidak berbeda dengan kebanyakan angsa pada umumnya. Suatu pagi, ia keluar dari peraduannya dan berjalan menuju sebuah telaga tak jauh dari sarangnya.
Dedaunan masih basah oleh beningnya embun. Angin semilir pun masih terasa dingin, membuat bulu-bulu angsa sedikit terangkat. Beberapa langkah berjalan, ia berpapasan dengan seekor burung nuri yang terbang rendah pagi itu.
“Hai angsa, hendak ke telaga ya.. Eh angsa, kok warna bulumu hanya putih?” kata burung itu.
“Iya. Buluku hanya berwarna putih, dan aku menerimanya,” kata angsa singkat sembari berjalan.
Tak lama kemudian kembali ia berpapasan dengan seekor burung gagak yang tengah bertengger di sebuah ranting pohon. Butir embun jatuh ke tanah dari beberapa helai daun saat gagak hinggap.
“Hai angsa, kenapa paruhmu pipih seperti itu?” tanya gagak yang kemudian terbang menjauh dengan ber-kaok. Suaranya makin lama semakin sayup dan menghilang.
“Iya. Paruhku pipih, dan aku menerimanya,” jawab angsa.
Angsa pun melanjutkan langkah, dan air telaga jernih membiru mulai terlihat olehnya. Kali ini ia berpapasan dengan seekor puyuh yang sedang mencari makan di sela-sela rerumputan dan belukar.
“Hai angsa, kenapa lehermu panjang sekali?” tanya si puyuh.
“Iya. Leherku panjang, dan aku menerimanya,” kata angsa kembali memberi jawaban singkat dengan tetap berjalan.
Sampailah ia di tepi telaga. Dengan bergegas, angsa mendekati air yang memang masih dingin sepagi itu. Diulurkannya salah satu kaki ke air, namun beberapa saat sebelum menyentuh dinginnya air telaga, kembali terdengar sebuah pertanyaan untuknya.
“Hai angsa, kenapa kakimu berselaput?” kali ini suara berasal dari seekor elang yang baru saja menyambar ikan buruannya di telaga. Ikan
“Iya. Kakiku berselaput, dan aku menerimanya,” jawab angsa singkat.
“Bisa saja aku men-cat buluku dengan warna-warni indah ataupun warna emas.
Bisa saja aku mengganti paruhku dengan paruh tajam dan kuat, seperti paruh gagak.
Bisa saja aku memotong leherku agar tak sepanjang ini.
Bisa saja aku mengganti kakiku yang berselaput dengan cakar yang kuat, sekuat cakar elang.
Hanya, jika aku tak menerima apa yang ada ini,” senandung angsa sambil berenang di jernihnya air telaga. Entah telah berapa lama angsa berada di telaga, namun kini mentari telah mulai tinggi dan memancarkan sinar hangatnya.
“Mama lihat..!
“Oh itu bukan bebek, tapi angsa,” jawab si ibu setelah mengarahkan pandangan mengikuti telunjuk si kecil.
“Oh angsa.. Angsa yang cantik ya Ma..?!” rengeknya.
“Iya sayang, angsa yang cantik. Seperti putri mama ini,” jawab si ibu kepada putri kecilnya seraya menggandeng tangan mungilnya.
Dua keponakanku telah terlelap, aku pun ikut terlelap.
pernah diposting di sini